https://kalsel.times.co.id/
Berita

Akar Sejarah Yadnya Kasada Bromo, Jejak Cinta Tengger dan Spiritualitas Abadi

Sabtu, 14 Juni 2025 - 02:28
Akar Sejarah Yadnya Kasada Bromo, Jejak Cinta Tengger dan Spiritualitas Abadi Prosesi larung sesaji Suku Tengger ke dalam kawah, dalam Yadnya Kasada Bromo 2025. (FOTO: Dikky Arsena/TIMES Indonesia)

TIMES KALSEL, PROBOLINGGO – Di tengah lautan pasir Gunung Bromo yang mistis, malam Kasada menjelma jadi waktu suci. Dalam iringan kidung kejawen dan nyala obor dari ribuan umat Hindu Tengger, satu per satu sesaji dilemparkan ke kawah, menembus kabut dan dingin dini hari. Inilah Yadnya Kasada Bromo, ritual kuno yang bukan sekadar warisan budaya, melainkan fondasi spiritual Suku Tengger—sebuah masyarakat adat yang namanya sendiri berasal dari kisah cinta legendaris: Roro Anteng dan Joko Seger.

Di bawah langit malam yang dingin dan nyaris beku, lautan pasir Bromo tampak seperti panggung raksasa yang disiapkan untuk pertunjukan agung yang telah berlangsung lebih dari lima abad. Di tengah keremangan cahaya obor dan nyala dupa, suara kidung kejawen mengalun pelan dari arah Pura Luhur Poten, menyambut satu-satunya malam dalam setahun ketika waktu seolah mundur ke masa lampau.

Suku-Tengger-memanjatkan-doa-dalam-larung-sesaji.jpgSuku Tengger memanjatkan doa dalam larung sesaji ke kawah Gunung Bromo. (FOTO: Dikky Arsena/TIMES Indonesia)

Malam Kasada tiba—bukan sekadar seremoni, tapi sebuah perjalanan spiritual yang mengikat masa kini dengan akar leluhur yang dalam. Di sinilah Yadnya Kasada berdiri tegak sebagai salah satu ritual tertua dan paling sakral yang masih bertahan di tanah Jawa. Sebuah kisah panjang tentang pengorbanan, kepercayaan, dan cinta suci yang diturunkan oleh dua tokoh mistis: Roro Anteng dan Joko Seger.

Legenda Cinta Roro Anteng dan Joko Seger, Janji, dan Asal Usul Nama Tengger

Kisah ini bermula dari masa runtuhnya Kerajaan Majapahit. Roro Anteng, seorang putri berdarah ningrat Majapahit, melarikan diri ke pegunungan timur bersama seorang pertapa muda bernama Joko Seger. Keduanya menetap di lembah Gunung Bromo dan membangun kehidupan baru yang harmonis, namun tak kunjung dikaruniai keturunan.

pembukaan-Yadnya-Kasada-Bromo.jpgSendra Tari terkait legenda Roro Anteng dan Joko Seger saat pembukaan Yadnya Kasada Bromo. (FOTO: Dikky Arsena/TIMES Indonesia)

Dalam keheningan pertapaan, mereka memohon kepada para dewa. Doa mereka dikabulkan, dengan syarat: anak bungsu dari 25 anak yang kelak mereka miliki harus dikorbankan ke kawah Bromo. Ketika saatnya tiba, keduanya tidak sanggup melakukannya. Namun sang anak bungsu, Raden Kusuma, rela mengorbankan dirinya agar kesepakatan tetap dihormati. 

"Sebelum menghilang ke dalam kawah, suara ghaibnya menggema, menyerukan agar pengorbanan ini dikenang setiap tahun dalam ritual Yadnya Kasada, di tanggal 15 bulan Kasada," kata Rama Edi, Dukun Adat Suku Tengger, Rabu (11/6/2025).

Dari perpaduan nama Anteng dan Seger, lahirlah sebutan Tengger. Bukan hanya sebagai penanda etnis, tapi juga sebagai simbol keteguhan spiritual, kesetiaan pada janji, dan penghormatan kepada leluhur.

Kasada sebagai Ritus dan Sistem Kehidupan

Yadnya Kasada Bromo tidak berdiri sendiri. Ia adalah jantung dari struktur budaya Suku Tengger yang kini tersebar di empat kabupaten: Probolinggo, Pasuruan, Lumajang, dan Malang, dengan populasi sekitar 90.000 jiwa. Ritual ini tidak hanya merefleksikan hubungan manusia dengan Tuhan, tapi juga menjaga harmoni antara alam, manusia, dan leluhur.

Upacara dimulai dari Pura Luhur Poten, satu-satunya pura Hindu yang berdiri di tengah Lautan Pasir Bromo. Rangkaian upacara berlangsung selama dua minggu, dimulai dengan pelantikan Dukun Adat, pembersihan spiritual (melasti), hingga puncaknya pada malam ke-14 Bulan Kasada saat sesaji dilempar ke kawah.

“Setiap elemen dalam upacara adalah simbol kehidupan. Dari tanah, air, api, dan angin—semua harus kembali ke asalnya dalam bentuk persembahan,” kata Edi.

Sesaji Bukan Sekadar Tradisi

Sesaji yang dipersembahkan tidak sembarangan. Hasil pertanian seperti kentang, kubis, wortel, hingga kembang setaman, ditambah ayam, kambing, dan bahkan uang, dibawa dalam wadah bambu dan dilarung ke kawah Bromo. Tidak sedikit warga yang melemparkan nama anak atau keluarga mereka yang telah meninggal sebagai bentuk doa dan penghormatan.

Menurut ajaran lokal, sesaji ini adalah bentuk “nyegah balak”, atau penangkal marabahaya. Kawah gunung dianggap sebagai pintu menuju dunia roh, tempat bersemayam para leluhur dan dewa pelindung masyarakat Tengger. Menjaga hubungan baik dengan mereka berarti menjaga keseimbangan hidup sehari-hari.

Dalam setiap sesaji, tersimpan pesan filosofi. Pisang raja melambangkan kesuburan dan regenerasi. Ayam jago dan kambing menunjukkan keberanian dan pengorbanan. Koin emas mencerminkan keikhlasan melepas duniawi.

Yang menarik, di balik ritual larungan ini, ada pula “ritual tak tertulis” lainnya yakni sekelompok masyarakat dari luar Tengger yang dengan lihai berusaha menangkap ayam atau barang sesaji yang dilempar ke kawah. Bagi mereka, hasil tangkapan dianggap membawa berkah. Fenomena ini mencerminkan bagaimana tradisi bisa membentuk ritual sosial tak resmi yang tetap bermakna.

"Sesaji ini diberikan sebagai bentuk kami menjaga tradisi," kata Mbah Agus, warga suku Tengger, dari Desa Ngadipura, Kecamatan Sekarpura, Kabupaten Probolinggo.

Memelihara Warisan Majapahit di Era Digital

Meski dunia terus berubah, masyarakat Tengger tetap mempertahankan struktur adatnya. Mereka hidup dalam sistem gotong royong, mematuhi larangan membunuh hewan sembarangan, menjaga kesucian hutan dan mata air, serta melarang pernikahan campuran yang bisa melemahkan identitas budaya.

Pemerintah mencatat, sekitar 98% masyarakat Tengger masih menjalankan Hindu Dharma gaya Majapahit, berbeda dari Hindu Bali. Ajaran mereka lebih menekankan harmoni kosmos dan karma phala dalam kehidupan sehari-hari.

Anak-anak Suku Tengger diajari bahwa hidup bukan sekadar mencari untung, tapi menjaga keseimbangan antara manusia dan alam. Itulah makna sejati dari ajaran Roro Anteng.

Malam bergulir, satu demi satu sesaji dilemparkan ke kawah. Di sela-sela suara gong dan mantra, terdengar bisikan anak-anak Tengger yang dibisiki kisah Roro Anteng dan Joko Seger. Mereka menyimak, menghafal, dan kelak akan mengulang cerita yang sama kepada anak-anak mereka.

Yadnya Kasada bukan perayaan. Ia adalah bentuk ingatan kolektif yang dijaga bersama, oleh komunitas yang tahu dari mana mereka berasal, dan tahu ke mana mereka harus kembali. (*)

Pewarta : Imadudin Muhammad
Editor : Imadudin Muhammad
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Kalsel just now

Welcome to TIMES Kalsel

TIMES Kalsel is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.